Nata De Cassava & Masyarakat Nangsri, Bantul, Yogyakarta

Dukuh Nangsri merupakan sentra industri rumah tangga pati aci/tapioka yang terletak di desa Srihardono, kecamatan Pundong, Bantul, Yogyakarta. Hampir seluruh masyarakatnya memproduksi pati dari singkong secara turun temurun. Proses produksinya masih tergolong tradisional. Mulai dari pengupasan kulit singkong, pemarutan singkong dengan mesin, pemerasan pati masih menggunakan tenaga manusia. Pengeringan patinya juga masih sederhana yaitu menggunakan sinar matahari, sehingga mengalami kendala dalam musim penghujan.

Saya yang masih muda merasa malu karena setua itu masih semangat dan penuh tawa saat bekerja, sedangkan saya yang memiliki tenaga dan pikiran hanya melihat. Akhirnya saya ikut mencoba..he3 niatnya ingin meringankan pekerjaan malah membuat Simbah perajin pati aci tertawa, karena baru memeras 50 kg singkong, pinggang saya sudah serasa encok “hmmm..mungkin belum terbiasa biasanya saya kuat ko” (hohoho nyari-nyari alasan supaya tidak malu-malu amat). Padahal biasanya rata-rata tiap perajin 2-4 kuintal singkong/produksi. Saya akui memang memeras pati aci pekerjaan yang membutuhkan tenaga extra.

Sampai di rumah, badan saya rasanya pegal dan capek. Dari 1 kilogram singkong biasanya dihasilkan 20 kg pati aci kering. Sisanya adalah kulit, bonggol, dan ampas singkong. Limbah cair yang dihasilkan sangat melimpah, bersifat asam, dan menimbulkan pencemaran lingkungan. Harga 1 kg pati aci Rp 4.500,00-Rp 5.000,00. Oleh masyarakat sekitar biasanya pati aci diproses menjadi mie pentil (awas salah baca yaa!), Mie des dan kerupuk bendera. Mie pentil ini adalah makanan khas masyarakat Pundong. Rasanya unik, kenyal, dan alami. Nama mie pentil didapat karena bentuk mienya panjang dan kenyal seperti pentil sepeda.

Limbah cair pati aci adalah limbah cair pada saat pemerasan dan pengendapan pati. Setiap kali produksi 2-4 kuintal singkong dihasilkan limbah kurang lebih 300 liter. Jumlah seluruh perajin pati aci di desa Srihardono adaah 120. Limbah sisa produksi sangat melimpah dan membutuhkan pengolahan lebih lanjut agar tidak mencemari lingkungan. Dulu sebelum ada IPAL, limbah hanya dibuang sembarang apabila terkena kulit akan gatal, mematikan tanaman di halaman, ikan di sungai mati, dan pencemaran bau yang menggangu. Akhirnya oleh pemerintah dibuatkan IPAL yang sederhana untuk mengurangi dampak pencemaran.

Melihat hal tersebut timbul pemikiran untuk memanfaatkan limbah karena karakteristiknya yang asam maka berpotensi dimanfaatkan menjadi produk nata. Salah satu syarat terbentuknya nata de coco adalah kandungan asam air kelapa, bahkan untuk menambah keasamannya membutuhkan air cuka dalam pembuatan nata de coco. Mengapa tidak menggunakan asam dari air limbah pati aci. Akhirnya mulailah kami melakukan penelitian pembuatan nata de cassava dari air limbah pati tapioka dan singkong. Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT berkat kerjasama dari berbagai pihak akhirnya ditemukannya Formula untuk membuat nata de cassava ini. Perkembangannya terakhir 2010 terdapat 10 perajin nata de cassava di Nangsri, selain mereka produksi pati aci juga produksi nata de cassava dari limbah yang mereka hasilkan. Meningkatkan taraf hidup secara finansial. Harapannya seluruh perajin pati aci dapat menjadi petani nata de cassava. Pelan tapi pasti! Kami mohon doa dari para pembaca.

4 komentar:

La learner
11 Agustus 2010 pukul 23.12

kerennnn. salut buat mbak Mayasthi dan kawan2, bisa memajukan desa kelahiran orangtua saya, nangsri :) bravo!

Anonim
9 Juli 2016 pukul 06.40

Apakah ada open kitchen di desa tersebut mengenai nata de cassava?

Anonim
19 Januari 2018 pukul 20.32

Apakah masih produksi nata de cassavanya?

Puan Ayu Safir Agusta
12 April 2018 pukul 19.31

Jika ingin membeli nata de cassavanya dimana ya?

Posting Komentar

Prev Next Beranda