Sejarah Penemuan Nata de Cassava

Penemuan nata de cassava diawali saat berkunjung ke salah satu industri nata de coco yang terletak di Bantul, Yogyakarta. Industri ini mengungkapkan adanya peluang pasar nata yang masih belum terpenuhi seluruhnya karena kendala keterbatasan bahan baku air kelapa. Diperlukan bahan baku alternatif lain sebagai pengganti air kelapa, yang tersedia melimpah dan murah karena air kelapa merupakan limbah kelapa yang tadinya dibuang.

Salah satu anggota tim kami secara tidak sengaja makan tape yang rasanya manis, kemudian teringat teknologi pembuatan nata de coco bahwa salah satu syaratnya adalah gula pasir. Berbekal informasi ini berarti secara garis besar dapat disimpulkan bahwa singkong dapat dibuat menjadi nata atau kami sebut nata de cassava, namun penerapan teknologinya belum ditemukan. Berbagai percobaan terus dilakukan. Pada tahun 2007, kami membentuk suatu tim yang terdiri dari 4 orang mahasiswa UGM dari berbagai jurusan. Yang terdiri dari Nur Kartika I. M, Indra Triwibowo, Margianto, dan Farid. Di sela kesibukan kuliah, pada malam hari seusai maghrib kami luangkan waktu untuk meneliti nata de cassava di Laboratorium Mikrobiologi, PAU, UGM. Hal ini dilandasi karena ketertarikan dan keingintahuan kami tentang nata de cassava, sehingga membuat perasaan lelah menjadi sumringah (orang jogja menyebutnya untuk ungkapan senang). Penelitian terus dilakukan hingga akhirnya ditemukannya Formula 1 dan Formula 2 yang merupakan kunci pembuatan pembuatan nata de cassava. Proses pembuatan nata de cassava dibutuhkan ketekunan dan kesabaran, karena banyak faktor yang mempengaruhi proses fermentasi nata de cassava.

Pada tahun 2008, kami mengikuti perlombaan usaha/bisnis Innovative Entrepreneurship Challenge 3 yaitu lomba nasional tahunan yang diadakan ITB bagi mahasiswa yang memiliki Ide bisnis inovatif. Perlombaan ini melewati beberapa tahapan, yaitu penyeleksian yang ketat dari 255 tim dari berbagai universitas di Indonesia, bussines plan kami lolos 30 besar kemudian dilombakan lagi diambil 10 besar. Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT, sebuah prestasi berhasil dipersembahkan untuk Kampus tercinta UGM sebagai juara 1. Kami juga menjuarai Young Entrepreneurship Challenge yaitu lomba bisnis untuk kalangan umum yang diadakan oleh Harian Bisnis Indonesia, dan Alhamdulillah kami mendapat juara 1 kategori perintis.

Teknologi ini kami aplikasikan di desa binaan yang terletak di dukuh Nangsri, Desa Srihardono, Bantul, Yogyakarta. Desa ini terdapat 120 perajin pati tapioka yang secara turun temurun memproduksi pati tapioka tradisional/kampung yang sering disebut pati aci, dengan kapasitas produksi 4 kuintal singkong/perajin. Perkembangannya saat ini telah terdapat 10 petani aci yang memanfaatkan limbahnya menjadi nata de cassava, namun belum seluruh petani pati aci mengaplikasikan pengolahan limbahnya menjadi nata de cassava karena keterbatasan modal.

0 komentar:

Posting Komentar

Prev Next Beranda